Romo, saya sempat membaca sebuah buku, dikatakan bahwa masih banyak umat Katolik khususnya di Jawa yang memandang figur Maria sama dengan sosok Dewi Sri. Apakah keduanya bisa dianggap sama? Maria Natia, Solo
Dewi Sri dipandang sebagai dewi kesuburan, dewi padi dan sawah. Bahkan tidak jarang ditempatkan sebagai pelindung kehidupan. Sosok ini menurut banyak ahli berangkat dari tradisi Jawa kuno, maka sering dikatakan berasal dari mitos lama, dengan beberapa variasi kisah yang menceriterakannya. Tentu penggambaran ini tidak bisa tumbuh dari kultur agraris yang dalam tradisi masyarakat, sesuatu yang tidak lagi sangat kuat di dominasi budaya industri dan urban dewasa ini.
Dalam beberapa penggambaran, Dewi Sri diperlihatkan sebagai putri cantik dengan wajah anggun dan teduh. Bisa jadi penggambaran ini dekat dengan tradisi budaya, karena memang hidup manusia ditopang oleh pangan, dan tanah yang pinggiran, terlebih bagi pertanian, merupakan lukisan ideal akan tanah Jawa yang pinggiran, menopang kehidupan serta kesejahteraan. Bahkan tidak jarang Dewi Sri dipandang sebagai personifikasi tanah, karena tanah adalah yang “melahirkan” tanam-tanaman yang “melahirkan” kehidupan bagi umat manusia.
Ibu Maria digambarkan pula sebagai Hawa baru, yang menumbuhkan dan melindungi, karena dialah yang melahirkan dan melahirkan Penyelamat, yang melahirkan manusia dari terikat dosa dan maut. Kitab Kejadian saat Allah memberi nama perempuan pertama dengan nama Hawa, dikatakan bahwa dialah yang menjadi ibu semua yang hidup (Lih. Kej. 3:20). Kitab Wahyu memberi gambaran tentang seorang perempuan yang melahirkan dan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menggembalakan semua bangsa. Perempuan itu diserang oleh naga besar dan bencana, namun bisa selamat dan bahkan dilindungi oleh Allah, hingga naga itu kalah, namun tidak mau menyerah karena masih terus marah terhadap perempuan itu akan tetapi tidak pernah berhasil (Lih. Why. 12:1-17 ). memandang langit baru dan bumi baru (Lih. Why. 21:1-27).
Upaya untuk digambarkan secara dekat atau sejajar antar dua pribadi bisa dimaklumi, karena bagaimana pun umat manusia membutuhkan ilustrasi penjelas. Akan tetapi selalu bisa memuat berbagai bahaya jika lalu menidentifikasikan secara sama dua pribadi yang berbeda, dengan latar belakang kisah tuturan serta tradisi yang. Oleh karena itu bisa memuat penyederhanaan atau upaya-upaya yang tidak sesuai dengan permintaan jika Ibu Maria begitu saja disamakan dengan Dewi Sri. Akan tetapi lebih mungkin jika penggambaran tentang Dewi Sri dipakai sebagai pengantar atau penggambaran awal untuk berbicara tentang Ibu Maria.
Memang Maria melahirkan dan melahirkan Yesus, tetapi akan menyebabkan Maria dewi kesuburan dan pelindung kehidupan, sebab hanya Tuhanlah, bukan manusia, pelindung kehidupan, sebab Dia sendiri adalah kehidupan itu (Lih. Yoh. 14:6), bahkan roti hidup (Lih. Yoh. 6:25-59), dan memberikan kesuburan (Lih. Kis. 14:17). Maria mengantar umat manusia sampai kepada Sumber Hidup, bukan berhenti pada dirinya sendiri atau memuja dirinya sendiri, lepas dari Tuhan. Dia menjaga kehidupan, tidak mengutuk ancaman bila ada yang tidak menghargainya. Bahkan kisah mukzijat pertama di Kana menggambarkan tentang Maria yang peduli agar segalanya dapat berjalan dengan baik (Yoh. 2:1-11). Maria itu perempuan biasa, manusia yang sama dengan kita semua, bukan seorang dewi, mengajarkan tentang bagaimana kita sebagai manusia hidup di hadapan Allah,
Bagi saya Maria lebih lengkap dari Dewi Sri, sebab Maria itu hidup dan nyata serta masih menyertai kita hingga kini. Menggambarkannya seperti Dewi Sri bisa dibuat, namun sebagai pengantar untuk menggambarkan Ibu Maria, namun menyamakannya begitu saja malahan memiskinkan pengenalan kita akan sosok Bunda Maria.
Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ (Teolog Dogmatik)
Sumber: HIDUP NO.21, 23 Mei 2021