Siapa yang tidak mengenal imam sebagai salah satu kaum religius dalam Gereja Katolik? Yaps, merekalah yang biasanya melayani di gereja ataupun karya sosial lainnya. Pelayanan mereka bukan hanya sebatas memimpin perayaan Ekaristi, tetapi bisa berkarya di persekolahan, seperti Kolese, karya sosial, seperti GOTAM (Gerakan Orang Tua Asuh Misioner), yayasan-yayasan pendukung, serta karya-karya pastoral lainnya.
Apa itu Budaya
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi, hasil, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah Budaya menjadi suatu cara hidup yang berkembang dan menjadi milik bersama oleh sebuah kelompok masyarakat dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Indonesia sendiri terkenal dengan kekayaan budayanya. Tidak heran, sebab dari segi wilayah, Indonesia yang adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulaunya. Dari pulau0pulau tersebut, hidup lebih dari 360 suku bangsa. Dalam catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), karya budaya di Indonesia yang telah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda mencapai sejumlah 1.239 pada tahun 2020. Budaya takbeda iotu sendiri meliputi seni pertunjukkan, tradisi dan ekspresi lisan, adat istiadat, pengetahuan alam, kerajinan, dan perayaan.
Budaya di Indonesia tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang digenggam erat. Inilah yang menjadi khas dalam budaya Indonesia. Contohnya ialah gotong-royong, saling tolong menolong, ramah, santun, toleran, dan peduli terhadap sesama.
Tantangan Zaman
Era globalisasi dengan segala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tantangan yang kita hadapi sekarang. Globalisasi seakan-akan meruntuhkan sekat-sekat antara negara satu dengan negara lainnya. Globalisasi bisa menembus ruang dan waktu dengan sebegitu mudahnya.
Era inilah membuat budaya-budaya luar mudah masuk ke Indonesia. Kita bisa melihat tanda-tanda ini mulai dari bagaimana cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara makan, dan hampir semua aspek kehidupan atau budaya luar yang masuk dengan mudah dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Era globalisasi bukanlah sautu hal yang baru. Proses ini sudah mulai sejak lama, dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin besar pula terasanya era ini. Pada kenyataannya, kita bisa merasakan bahwa sudah banyak budaya luar yang masuk dan diikuti oleh masyarakat Indonesia.
Masa pandemi covid-19 pun seakan-akan menjadi hukuman bagi budaya lokal yang mau tidak mau harus berhenti. Bagaimana tidak, secara hidup, kita benar-benar dibatasi dengan tidak diizinkannya untuk beraktivitas di luar rumah. Semua hal kita lakukan secara daring. Inilah yang menjadi ancamannya. Pandemi jugalah yang menggugurkan banyak penatua, orang-orang yang masih kental dengan budaya, para budayawan, dan bisa jadi mereka belum sempat menurunkannya.
Digitalisasi yang dihadapi kaum muda pun membuat budaya menjadi sulit untuk diturunkan. Kebiasaan menghadap alat-alat elektronik yang dengan intensi utama untuk bersekolah menjadi bercabang dan semacam cuci otak bagi anak muda.
Budaya modern dengan mudah menguasai anak muda. Fenomena-fenomena ini akan sangat mudah dijumpai melalui media sosial, seperti Instagram dan TikTok. Anak muda zaman sekarang terlihat cukup labil, lebih mengutamakan untuk mencari eksistensi dirinya melalui media sosial. Mereka dengan mudahnya engikuti arus zaman. Apa yang banyak dilakukan orang lain, maka mereka akan ikut serta meramaikannya. Mereka juga memiliki kecenderungan untuk ingin viral.
Mulai dari sinilah budaya Indonesia semakin lama semakin tergerus oleh zaman. Satu persatu nilai luhur yang dibawa oleh budaya Indonesia ditinggalkan begitu saja. Semakin tergerus, semakin turun pula moral dan karakter bangsa Indonesia.
Ini yang perlu menjadi keprihatinan Gereja. Sebagai persekutuan umat Allah yang juga hidup dalam dunia ini, Gereja perlu turut andil dalam permasalahan hidup bersama. Bagaimana agar tetap bisa mempertahankan budaya Indonesia dengan segala kekayaan nilai luhurnya.
Ajakan Berdialog
Romo Agustinus Tri Edy Warsono, Pr dalam buku Caritas Christi Urget Nos menyampaikan bahwa Gereja senantiasa hidup di tengah masyarakat yang diwarnai dengan kemiskinan, aneka macam agama dan budaya. Dalam situasi demikian, seorang imam harus mampu berdialog dengan semua pihak demi mewujudkan kebaikan bersama. Dialog yang bangun tidak hanya berhenti pada persoalan teologis semata, tetapi juga garus menyentuh pada dialog kehidupan.
Perlu kita sadari memang Gereja hidup tidak lepas dari dunia dengan segala macam warnanya. Pertama, Permasalahan kemiskinan yang tidak selesai, ataupun fenomena kesenjangan sosial dengan maraknya kasus pamer harta. Kasus terbaru ialah anak-anak pejabat yang memamerkan harta orang tuanya melalui media sosial. Kasus yang lebih parah lagi tergambar dalam ungkapan, “Gaya elit, ekonomi sulit”. Hal yang diprioritaskan adalah gaya atau penampilan di depan publik. Padahal, dari segi ekonomi, tidak lebih dari kata cukup, atau bisa jadi malah kurang.
Kedua, aneka macam agama dan budaya. Dalam hidup bersama, kita tidak bisa lepas dari aneka agama dan kepercayaan dan juga budaya yang ada. Bahkan, di setiap paroki pun memiliki budayanya masing-masing yang tentunya berbeda satu dengan yang lain.
Memang situasi yang dihadapi saat ini adalah lunturnya budaya lokal yang tersingkir akibat adanya budaya-budaya modern. Imam yang dibutuhkan adalah seorang yang tetap bisa mempertahankan segala kearifan lokal yang ada. Bukan hanya sebagai bentuk sikap pastoral bagi orang tua yang lumayan kental dengan budaya, tetapi juga untuk orang muda.
Mempertahankan budaya juga bisa membuka dialog dengan agama lain. Jika dipikir secara logis, memang agama dengan segala isinya memisahkan kita. Akan tetapi, budayalah yang justru bisa menjadi jembatan untuk semua itu. Seorang imam yang bisa berdialog, srawung, dan hadir dalam masyarakat sangat dibutuhkan untuk menguatkan nilai-nilai budaya agar tetap berakar di Indonesia.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah melalui inkulturasi liturgi-liturgi yang ada. Misalkan saja di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, imam yang bertugas bisa mengadakan misa bahasa Jawa, ataupun ibadat-ibadat dengan bahasa daerah.
Dengan demikian, Gereja, melalu para imam, mengusahakan terwujudnya Gereja yang Sinodal. Berjalan bersama dengan unsur kebudayaan yang ada. Hal ini sekaligus mewujudkan gerak Gereja yang inkulturatif.
Pada akhirnya, arah tujuannya adalah bisa menggerakkan anak muda bukan hanya menikmati budaya itu sendiri, tetapi menghidupi dan melestarikannya, lalu membagikannya kepada orang-orang di sekitarnya. Bukan tidak mungkin budaya asli, kearifan lokal, akan tetap menjadi warna tersendiri di bumi Indonesia ini.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Imam yang Sezaman: Berani Memilah Budaya”, Klik untuk baca:
Kreator: Gabriel EdbertLiandrew