Rm. Petrus Maria Handoko, CM
Apakah sakramen Baptis untuk orang dewasa dan sakramen Baptis untuk anak itu berbeda atau dipandang sama saja?
Elisabet, Papua
Pertama, sakramen Baptis sebagai sakramen, tentu saja adalah sakramen yang sama jika diberikan kepada orang dewasa maupun kepada anak-anak. Hukum Gereja menyatakan “sakramen-sakramen adalah sama untuk seluruh Gereja dan termasuk khasanah ilahi . . . “ (KHK Kan no 841) Penerima sakramen boleh berbeda-beda, tetapi Sakramen Baptis-nya tetaplah sama. Sakramen Baptis adalah pintu gerbang untuk sakramen-sakramen lainnya karena sakramen inilah yang memberikan rahmat penghapusan dosa asal dan semua dosa lainnya dan menganugerahkan keselamatan yang merupakan buah penebusan Kristus. Melalui Sakramen Baptis ini, semua orang yang dibaptis disatukan dengan Yesus Kristus, dan karena itu juga disatukan dengan semua orang yang sudah bersatu dengan Kristus.
Kedua, perbedaan antara Baptis dewasa dan Baptis anak-anak terletak pada penerimaan sakramen itu, bukan pada keabsahan atau terjadinya sebuah sakramen. Dalam hal terjadinya, setiap sakramen ditentukan oleh materia (“bahan” atau tindakan minimal yang ditentukan Gereja harus ada), forma (doa yang menyertai pelaksanaan sakramen), intensi dari pelayan sakramen dan kuasa yang dimiliki oleh pelayan sakramen.
Perlu diingat bahwa terjadinya sakramen tidak tergantung pada penerimaan dari orang yang menerimanya. Tetapi dalam hal efektivitas rahmat yang diberikan dalam diri orang yang bersangkutan, keikutsertaan subyek penerima sangat menentukan.Tanpa tanggapan aktif dari penerima, sebuah sakramen menjadi sakramen yang sah tetapi mandul. Tetapi penerima pertama ialah komunitas atau Gereja, bukan pribadi masing-masing anggota Gereja.
Ketiga, anak-anak dibaptis sebagai anak, bukan sebagai orang dewasa yang sudah mampu menanggapi rahmat Allah secara bebas dan mengasimilasinya. Sebagai anak, mereka masih tergantung dalam segala hal pada orang tua mereka. Karena itu, buku liturgi Upacara Pembaptisan Anak-anak mengatakan bahwa “mereka dibaptis dalam iman Gereja yang diakui oleh para orangtua dan wali baptis serta semua hadirin.
Karena itulah, dalam pelaksanaan liturgi pembaptisan, orang tua dan wali baptis mewakili anak-anak menjawab ajakan dan pertanyaan imam. Untuk selanjutnya, orangtua dan wali baptis mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anak itu dalam iman Katolik. Dengan demikian, sakramen itu baru mendapatkan artinya yang penuh.
Karena itulah, Gereja menetapkan persyaratan utama untuk pembaptisan bayi ialah bahwa “ada harapan cukup beralasan bahwa anak itu akan dididik dalam agama Katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda.” (KHK Kan no, 868, # 2).
Apakah wali baptis itu harus sama jenis kelaminnya, artinya seorang bapak untuk calon baptis laki-laki, dan seorang Ibu untuk calon baptis perempuan? Berapa jumlah wali baptis yang diizinkan?
Heribertus Ndosor, Ruteng
Pertama, dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 yang berlaku pada saat ini, sudah tidak ada ketentuan bahwa para wali Baptis harus diambil dari jenis seks yang sama. Dengan kata lain, sorang Bapak bisa menjadi wali baptis untuk calon baptis perempuan, demikian pula seorang Ibu bisa menjadi wali baptis untuk calon baptis laki-laki.
Kedua, wali baptis yang resmi dan tercatat dalam surat baptis hanyalah satu orang atau dua orang yang berbeda jenis kelamin. Hukum Gereja mengaturnya: “Sebagai bapak/ibu baptis hendaknya diambil hanya satu laki-laki atau hanya satu perempuan atau juga laki-laki dan perempuan.” (KHK Kan no. 871). Wali baptis “bukan ayah atau ibu dari calon baptis” (KHK Kan 874 # 5)